Menyikapi Hukum Poligami
Qumedia - Di Indonesia, poligami merupakan perbuatan yang tabu dan kontroversi. Tak jarang persoalan ini ketika diangkat ke permukaan membuat tensi menginggi terutama dari kaum hawa. Misalnya kejadian di Indonesia beberapa tahun lalu pernah mencuat perihal poligami, misalnya yang dilakukan oleh Aa Gym yang menikah dengan Al Farini Eridani yang booming di media berbarengan dengan video syur penyanyi dangdut Maria Eva dengan salah satu anggota DPR dari partai Golkar yakni Yahya Zaini. Sayangnya reaksi sentimen dari kaum penganut feminisme sekuler lebih dialamatkan kepada orang yang melakukan perbuatan halal (poligami) daripada kepada orang yang melakukan perbuatan keji dan haram (selingkuh/perzinahan). Dampak lainnya ialah ada Koalisi Perempuan Kecewa Aa Gym (KPKAG). Bahkan kala itu reaksi berlebihan dari presiden RI (SBY) yang merevisi PP 10/1983 yang semula larangan larangan poligami hanya di kalangan TNI/Polri dan ASN saja, melainkan diperluas untuk menjangkau kaum swasta. Kontroversi yang terjadi justru presiden dan pejabat terkait tidak merasa resah dengan perilaku "poligami liar" yang sudah jelas haram dan secara tidak langsung melecehkan kalangan perempuan itu sendiri, misalnya memaksa mereka yang menjadi selingkuhan untuk menggugurkan kandungannya. Mestinya yang harus diberantas adalah perilaku yang melanggar norma agama dan hukum. Belum lagi reaksi berlebihan lainnya ialah dengan syarat yang tak masuk akal dan memberatkan. Selain mengharamkan, negara memberikan syarat bagi poligami ialah karena istri: 1) tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri; 2) berpenyakit permanen; dan 3) tidak berketurunan. Oleh karenanya, jangan aneh ketika banyak orang yang lebih memilih jalan yang Allah haramkan. Seolah-olah perbuatan tersebut tercela dan mengancam keutuhan bangsa. Lalu, bagaimana semestinya kita bersikap dalam menyikapi perihal hukum poligami yang diperbolehkan syariat? Berikut dapat kami paparkan seputar perihal ini yang dikutip dari beberapa sumber.
Sekilah Sejarah Poligami
Dalam antropologi sosial mengenai praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami. Dalam sejarah manusia ditemukan 3 bentuk poligami, yakni poligini (suami memiliki beberapa istri), poliandri (seorang istri memiliki beberapa suami), dan grup family (gabungan dari poligini dan poliandri, misalnya dalam satu rumah terdapat orang laki-laki dan 5 perempuan, kemudian bercampur secara bergantian)
Poligami (makna poligini) telah dikenal lama sebelum Islam datang (bukan semata-mata poroduk syariat Islam), misalnya Nabi Ibrahim beristrikan Sarah dan Hajar, Nabi Ya'qub beristrikan Rahel, Lea, Zilfa, dan Bilha, versi Perjanjian Lama Yahudi Nabi Daud beristrikan 300 orang, raja-raja Hindu berpoligami dengan seorang permaisuri dan banyak selir, dan Dewan Tertinggi Gereja Inggris sampai abad sebelas melegalkan poligami.
Syariat Poligami
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَجفَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْقلىذٰلِكَ اَدْنٰىۤ اَلَّاتَعُوْلُوْاقلى
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (Qs. An-Nisaa [4]: 3).
وَ لَنْ تَسْتَطِيْعُوْۤا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَاتَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعّلَّقَةِقلىوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa [4]: 129).
قَالَ الشَّفِعِيُّ: وَقَدْ دَلَّتْ سُنَّةُ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُبَيِّنَةُ عن الله اَنَّهُ لَايَجُوْزُ لِاَحَدٍ غَيْرِ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اَكْثَرَ مِنْ اَرْبَعِ نِسْوَةٍ.
Imam As-Syafi'iy berkata:
"Sunnah Rasulullah saw yang menjelaskan dari Allah menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak diperkenankan seorang lelaki kecuali Rasulullah melakukan poligami lebih dari empat istri."
Iman Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, “Bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam sedang dia memiliki 10 istri. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Pilihlah empat dari 10 wanita itu.’” (Ringkasan Tafsir Ibnu katsir I: 490)
Oleh karenanya, jikalau seseorang hendak melakukan poligami, hendaknya ia meluruskan niat. Kemudian bermuhasabah, apakah dia sudah siap berbuat adil dan tidak berbuat zalim? Jika tidak siap, sebagaimana perintah-Nya, maka nikahilah seorang saja (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir I: 491)
Sebenarnya yang menjadi tujuan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw berbedan dengan tujuan poligami yang dilakukan oleh raja-raja. Para penguasa dan orang yang bermegah-megahan yaitu untuk bersenang-senang karena wanita. Oleh karenanya, tentu beliau tentu akan memilih calon istri dari kalangan gadis-gadis yang cantik bukan janda-janda yang sudah tua. (Tafsir al Maraghiy IV: 183-184)
Lantas adil seperti apakah yang mesti dilakukan seorang suami yang memiliki beberapa orang istri? Mari perhatikan keterangan-keterangan berikut.
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْاۤ اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِقلىوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًارَّحِيْمًا.
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (Qs. An-Nisaa [4]: 129).
Keadilan hanya bisa diwujudkan dalam hal yang dapat dijangkau oleh manusia, seperti menyamakan dalam hal kediaman, pakaian, dan yang lainnya. Sedangkan perihal yang di luar kemampuan seperti kecenderungan hari kepada seorang istri maka manusia tidak dibebani untuk mewujudkan keadilan dalam hal tersebut. (Tafsir al-Maraghiy, IV: 180)
Jika seorang suami tidak berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat adil kepada istri-istrinya sebagaimana tuntunan syariat, maka ia akan dikenai ancaman sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ.
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw ia berkata, “Seandainya seorang laki-laki menikahi dua wanita kemudian tidak berbuat adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan badannya yang miring. (Hr. Al-Hakim Kitabun Nikah: 2808).
Rasulullah saw tatkala menggilir istri-istrinya, beliau saw senantiasa berdoa kepada Allah, memohon dan bentuk tawakal kepada-Nya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ. قَالَ أبُوْدَاوُدَ: يَعْنِي الْقَلْبَ.
Dari ‘Aisyah RA., dia berkata: Rasulullah saw menggilir (istri-istrinya) dengan adil, sambil berdoa: ‘Ya Allah, ini saya gilir sesuai kemampuan saya, oleh karena itu semoga Engkau tidak murka kepadaku lantaran yang Engkau mampu tapi aku tidak mampu.’” Berkata Abu Dawud: Tegasnya (kecondongan) hati.. (Hr. Abu Dawud: 2134, at-Tirmidziy: 1143, al Hakim: 2810).
Berdasarkan hadits di atas menunjukkan bahwa rasa cinta dan kecondongan hati termasuk perkara di luar kemampuan manusia. Adil yang dimaksud adalah dalam perihal nafkah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas.
Batasan bermalam (Menggilir) Istri-istri
Bagi seseorang yang Allah anugerahkan dan amanahkan beberapa istri, ia harus berbuat adil sebagaimana ketentuan syariat. Salah satu bentuk keadilan yang mesti diwujudkan ialah mengatur waktu menggilir istri-istrinya. Dalam aturan Islam tidak ada ketentuan baku. Hal tersebut dikembalikan kepada yang menjalaninya. Karena satu keluarga dengan keluarga yang lain akan berbeda. Namun Rasulullah saw memberikan contoh terkait perkara ini, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ إِذَاتَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ, وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ عَلَى الْبِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلَاثًا ثُمَّ قَسَمَ.
Dari Anas ra., ia berkata, “Jikalau seorang laki-laki menikahi gadis sedang ia sudah memiliki istri janda, ia duduk di (rumah) gadis selama tujuh hari kemudian menggilir. Juga jikalau menikahi janda sedang ia telah memiliki istri gadis, ia singgah di janda tersebut (selama) tiga hari kemudian menggilir. (Hr. Al Bukhariy Kitabun Nikah: 524, Muslim Ktiabun Ridlo’: 1461).
Dalam kondisi tertentu Rasulullah saw menggilir istri-istrinya sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu dengan persetujuan mereka.
عَنْ عَئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَاغَدًا؟ أَيْ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ, فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ, فَاكَانَ فِيْ بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Dari ‘Aisyah ra., pada waktu itu RAsulullah saw sakit menjelang wafat: Dimana saya menggilir besok? Dimana saya menggilir besok?, beliau bermaksud harinya ‘Asiyah. Istri-istrinya mengizinkan beliau sawu berdasarkan keinginannya. Kemudia beliau saw (gilir) di kediaman ‘Aisyah sampai wafat di tempat tersebut. (Hr. Al-Bukhariy Kitabun Nikah: 5217, Muslim Kitabu Fadluilish Shohabat: 2443).
Ikhlas Dimadu?
Adakah Wanita yang ikhlas dimadu? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Bila dijawab tidak ada, tetapi tidak sedikit kita temukan Wanita-wanita yang tetap menjalani kehidupan ini dengan damai sekalipun diduakan cinta. Sedangkan bila dijawab ada. Jangan-jangan itu hanya dianggap merupakan angan-angan saja, lalu bukti-bukti nyata dinilai sebagai rekayasa. Betapa peliknya menempatkan persoalan ini secara proporsional.
Kaum pria hendaknya jangan memaksakan diri menempuh poligami bila memang segala prasarana tidaklah mendukung ke arah itu. Di pihak lain, kaum ibu hendaknya meningkatkan kualitas peran domestik mereka, suapya celah ke arah terjadinya poligami dapat dicegah sebaik mungkin.
Ikhlas adalah persoalan hati. Tidaklah mudah untuk mengetahui sejauh mana seseorang dapat dinyatakan ikhlas atau tidak ikhlas. Inilah rahasia kehidupan yang tetap disimpan oleh Allah hingga nanti sampai ke Hari Pengadilan.
Dalam Kitab Syarah Uqudu Al-Lujani, Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi mengutip sebuah kisah tentang pria yang menikahi dua Wanita.
Dikisahkan, bahwa di Baghdad ada seorang lelaki yang menikah dengan seorang putri pamannya (saudara sepupunya). Si pria berjanji tidak akan berpoligami. Pada suatu hari datang seorang Wanita ke tokonya dan meminta agar lelaki itu mau menjadikannya sebagai isteri.
Pria itu pun memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berjanji kepada istrinya yang saudara misannya itu bahwa ia tidak akan menduakan cintanya. Tetapi wanit itu pun berjanji bahwa bila kelak menjadi sitri keduanya, ia rela digilir seminggu sekali setiap hari Jum’at.
Akhirnya lelaki itupun menikahinya hingga berjalan sampai delapan bulan. Istri pertamanya mulai menaruh curiga, lalu ia mengirim seorang jariyah (budak perempuan) untuk mengawasi suaminya kemana ia pergi. Tiba-tiba suaminya masuk ke sebuah rumah. Jariyah itupun bertanya kepada para tetangganya. Mereka memberi tahu bahwa lelaki itu telah menikah.
Jariyah itu lalu kembali dan melaporkan keadaannya kepada tuan putri, bahwa suaminya telah kawin lagi. Mendengar laporan itu, tuan putrinya hanya berkata:
“Engkau jangan berikan kepada siapapun!”
Setelah lelaki itu meninggal dunia, lalu istri pertamanya menyuruh jariyah untuk menyampaikan yang uang sebesar 500 dinar kepada madunya dan mengatakan kepadanya,
“Semoga Allah memberikah pahala yang besar kepadamu sehubungan dengan kematian suamimu. Suamimu telah meninggal dunia dengan meninggalkan uang sebesar 8.000 dinar. 7.000 dinar untuk putranya, dan yang 1.000 dinar separuhnya untuk istri pertamanya dan separuhnya lagi untukmu.”
Setelah jariyah memberitahukan kepada istri madunya itu, ia pun berikirim surat seraya mengatakan, “Surat ini sampaikan kepada istri misannya.”
Ternyata surat itu berisi pembebasan maswakin bagi suaminya, dengan Wanita itu tidak mengambil apa-apa.
Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi menjadikan kisah di atas sebagai contoh teladan yang layak dijadikan ibrah bahwa keikhlasan seseorang tidak bisa dikukur oleh sejumlah harta. Wanita kedua yang meminta pria itu menikahinya tidak bermaksud menjadi penguasa harta atau cinta, melainkan benar-benar untuk memelihara kehormatan. Dan menunaikan syari’at.
Pada bagian ini, sang Syeikh kemudian menukil sejumlah hadits Rasulullah Saw yang berisi ancaman serius bagi mereka yang bertindak ingkar kepada ketentuan Allah SWT. Qumedia