Aceh sebagai Serambi Mekkah dan Pusat Dakwah Islam

Gemuruh ombak Samudra Hindia seolah menyimpan kisah panjang peradaban. Di pesisir utara Pulau Sumatera, terbentang sebuah negeri yang sejak dahulu kala dikenal dengan sebutan Aceh, Serambi Mekkah. Julukan ini bukanlah sekadar label tanpa makna, melainkan sebuah pengakuan atas peran historis dan kontribusi signifikan Aceh dalam penyebaran serta pengembangan Islam di Nusantara. Lebih dari itu, Aceh menjadi mercusuar dakwah, tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul, bertukar pikiran, dan menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Sejarah mencatat, Islam masuk ke Aceh pada abad ke-13 Masehi melalui jalur perdagangan. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India membawa serta nilai-nilai Islam yang kemudian bersemi dan tumbuh subur di tanah rencong. Kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai dan kemudian Kesultanan Aceh Darussalam menjadi pusat peradaban Islam yang gemilang. Di bawah kepemimpinan para sultan yang alim dan bijaksana, Aceh menjadi pusat studi Islam yang terkemuka, menarik para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia.
Qumedia - Kiprah ulama Aceh dalam menyebarkan Islam tidak dapat dipungkiri. Mereka tak hanya berdakwah di lingkungan istana, tetapi juga turun langsung ke tengah masyarakat, mendirikan dayah (pesantren tradisional), dan menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan hingga kini. Sebut saja nama-nama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf as-Singkili (Teungku Syiah Kuala). Karya-karya mereka, seperti Asrar al-Arifin karya Hamzah Fansuri dan Mir'at al-Wujud karya Syamsuddin as-Sumatrani, menjadi bukti kekayaan khazanah intelektual Islam di Aceh.
Peran Aceh sebagai pusat dakwah Islam selaras dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur'an:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
Ayat ini menegaskan pentingnya dakwah sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Aceh, melalui para ulamanya dan institusi pendidikannya, telah menjalankan amanah ini dengan sebaik-baiknya.
Tradisi keilmuan Islam di Aceh juga tercermin dalam sistem pendidikan dayah. Dayah bukan hanya sekadar tempat belajar membaca Al-Qur'an dan hadits, tetapi juga menjadi pusat pembentukan karakter dan moralitas. Para santri dididik untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, memiliki kecerdasan spiritual, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Sistem pendidikan dayah yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam telah melahirkan generasi-generasi ulama dan pemimpin yang berkualitas.
Selain itu, semangat berinfak dan bersedekah juga menjadi ciri khas masyarakat Aceh. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
Artinya: “Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Kedermawanan masyarakat Aceh tercermin dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, seperti pembangunan masjid, madrasah, dan membantu fakir miskin. Semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama menjadi bukti nyata implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, Aceh sebagai Serambi Mekkah bukanlah sekadar julukan tanpa dasar. Aceh memiliki sejarah panjang dalam penyebaran dan pengembangan Islam, tradisi keilmuan yang kuat, serta masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Warisan ini harus terus dijaga dan dilestarikan agar Aceh tetap menjadi pusat dakwah Islam yang gemilang di masa depan.
Wallahu A'lam
Reference:
- Sejarah Aceh
- M. Juned, dkk.