Sejarah Perjanjian Hudaibiyah yang Sarat Hikmah

Qumedia - Di tengah bara permusuhan yang membara antara kaum Muslimin Madinah dan kaum Quraisy Mekkah, terukir sebuah lembaran sejarah yang penuh pelajaran dan hikmah mendalam: Perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian yang pada awalnya tampak merugikan, namun menyimpan kemenangan hakiki di baliknya. Perjanjian yang menjadi bukti nyata bahwa terkadang, mengalah bukan berarti kalah, dan perdamaian yang tulus lebih utama daripada kemenangan sesaat yang berlumuran darah.

Kisah ini bermula pada tahun keenam Hijriyah. Rasulullah ﷺ bermimpi menunaikan ibadah umrah di Masjidil Haram bersama para sahabat. Mimpi ini, bagi seorang Nabi utusan Allah, adalah sebuah isyarat dan harapan. Dengan penuh keyakinan, Rasulullah ﷺ mengumumkan niatnya untuk berangkat ke Mekkah, bukan untuk berperang, melainkan untuk berziarah ke Baitullah.

Namun, kaum Quraisy, dengan segala kesombongan dan ketakutannya, menghalangi rombongan Muslimin di Hudaibiyah, sebuah tempat yang terletak di luar kota Mekkah. Di sinilah, serangkaian perundingan panjang dan alot terjadi. Sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, yang penuh semangat jihad, merasa keberatan dengan beberapa poin perjanjian yang diajukan oleh pihak Quraisy. Mereka melihat perjanjian itu sebagai bentuk penghinaan dan kekalahan.

Salah satu poin yang paling memberatkan adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk kembali ke Madinah pada tahun itu dan menunda ibadah umrah mereka hingga tahun berikutnya. Selain itu, disepakati bahwa jika ada orang Mekkah yang datang ke Madinah untuk masuk Islam, ia harus dikembalikan ke Mekkah. Namun, jika ada orang Madinah yang murtad dan kembali ke Mekkah, ia tidak akan dikembalikan ke Madinah.

Umar bin Khattab, seorang sahabat yang terkenal dengan ketegasannya, bahkan mendatangi Rasulullah ﷺ dan mempertanyakan kebijaksanaan perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah ﷺ dengan bijaksana dan penuh keyakinan, menjelaskan bahwa beliau ﷺ adalah utusan Allah dan tidak akan pernah berbuat sesuatu yang merugikan umatnya.

Perjanjian Hudaibiyah, yang ditandatangani dengan berat hati oleh sebagian sahabat, ternyata membuka jalan bagi kemenangan dan kemuliaan Islam di kemudian hari. Genjatan senjata selama sepuluh tahun memungkinkan kaum Muslimin untuk berdakwah secara lebih luas dan aman. Banyak kabilah Arab yang tertarik dengan ajaran Islam dan bergabung dengan barisan kaum Muslimin.

Allah SWT pun menurunkan firman-Nya untuk meneguhkan dan menjelaskan hikmah di balik Perjanjian Hudaibiyah:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (QS. Al-Fath: 1)

Ayat ini menjadi bukti bahwa perjanjian yang tampak merugikan itu justru merupakan kemenangan yang nyata. Kemenangan bukan hanya diukur dari pertempuran fisik, tetapi juga dari tersebarnya hidayah dan semakin kuatnya persatuan umat Islam.

Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:

Artinya: “Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam gulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukanlah kekuatan fisik, melainkan kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengutamakan perdamaian. Perjanjian Hudaibiyah menjadi contoh nyata bagaimana Rasulullah ﷺ mengendalikan emosi dan mengutamakan kemaslahatan umat.

Perjanjian Hudaibiyah mengajarkan kita tentang pentingnya kesabaran, kebijaksanaan, dan kepercayaan kepada Allah SWT. Perjanjian ini juga mengingatkan kita bahwa terkadang, kemenangan sejati justru tersembunyi di balik pengorbanan dan kesediaan untuk mengalah. Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari peristiwa bersejarah ini dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Qumedia

Wallahu A'lam