Kabar Terbaru
ADVERTISEMENT
Mau Pasang Iklan? Silahkan Klik Disini

Renungan Iedul Qurban

 Renungan Iedul Qurban

Qumedia -  Ada tiga hari raya utama bagi umat Islam, yaitu Idul Fitri (hari raya berbuka), Idul Adha (hari raya kurban), dan hari Jumat. Dua hari raya pertama telah berulang kali kita lalui sepanjang hidup, sementara hari Jumat kita temui setiap pekan.

Idul Adha adalah momen yang spesial. Sebagian dari kita menjalankan ibadah haji di Tanah Suci, sementara sebagian lainnya tetap berada di tanah air dan melaksanakan kurban. Bahkan, ada yang diberi rezeki oleh Allah untuk menjalankan keduanya sekaligus.

Tulisan ini secara khusus membahas kelompok yang tidak pergi haji tetapi melaksanakan ibadah kurban di tempat tinggalnya. Ibadah ini sering dianggap sebagai rutinitas, tetapi penting untuk direnungkan kembali tujuannya. Jangan sampai kurban hanya menjadi ritual tahunan tanpa makna yang mendalam. Ibadah ini seharusnya lahir dari niat yang tulus, bukan sekadar formalitas atau pencitraan.

Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu direnungkan dalam melaksanakan kurban:

1. Luruskan Niat Saat Berkurban

Niat adalah aspek paling mendasar dalam ibadah. Pastikan tujuan Anda adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jangan fokus pada apa yang Anda dapatkan dari manusia, melainkan pada pahala dari Allah SWT.

Setiap perbuatan seorang hamba sangat bergantung pada niatnya. Rasulullah SAW menegaskan pentingnya niat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab:

"Dari Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 'Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena tujuan duniawi yang ingin diraih, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.'" (HR. Bukhari)

Para ulama menyebutkan bahwa niat terletak di dalam hati, bukan sekadar diucapkan secara lisan. Oleh karena itu, niat ibadah seseorang hanya dapat diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah SWT. Tempatnya yang tersembunyi menjadikan niat tidak terpengaruh oleh hal-hal eksternal, seperti pujian atau kritikan dari orang lain.

Niat memiliki kontrol penuh dalam diri seorang hamba. Meskipun tidak terlihat secara fisik, niat yang benar mampu menjadikan ibadah diterima oleh Allah SWT, sementara niat yang salah dapat membuat amalan kehilangan maknanya. Maka dari itu, penting untuk meluruskan niat agar murni karena Allah, bukan demi manusia.

Sebagaimana firman Allah SWT di ujung surat ke-114 dalam Al-Qur'an, niat dalam ibadah kurban tentu harus lillahi ta'ala, semata-mata mengharap rida Allah SWT, bukan karena selain itu. Sebab jika niatnya bergeser, alangkah ruginya orang yang berkurban. Meski kurban itu mengeluarkan harta yang tidak sedikit, namun jika niatnya salah, tidak akan bernilai di mata Allah SWT.

Ibadah kurban jangan hanya dijadikan sebagai ritual tahunan saja karena sudah terbiasa, atau bahkan karena merasa malu jika tidak melaksanakannya. Tidak pantas pula ibadah ini dilakukan karena khawatir dicemooh orang lain. Kurban sejatinya adalah pengungkapan rasa syukur seorang hamba atas limpahan rezeki dan karunia Allah. Oleh karena itu, syariat kurban berlaku bagi orang yang mampu, memiliki penghasilan dan kekayaan lebih dari cukup.

Sebagaimana sabda Allah SWT dalam Al-Qur'an:

"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (QS. Al-Hajj [22]: 34)

2. Kurban itu bukan membeli daging.

Alkisah, di sebuah negeri antah berantah, ada tujuh orang yang berkurban bersama. Mereka mengumpulkan dana untuk membeli seekor sapi besar yang cocok untuk kurban. Namun, setelah sapi itu disembelih, tiga orang sibuk membagi dagingnya untuk di rumah masing-masing, sementara sisanya sibuk memperdebatkan cara pendistribusian daging. Ibadah kurban harus dijalankan dengan niat dan pemahaman yang benar.

Kisah tersebut hanyalah sebuah anekdot. Namun, jika kita berani jujur mengakui, kasus seperti itu kerap terjadi di sekitar kita. Akar masalahnya satu, yakni orang yang berkurban tidak sedang beribadah, tetapi ia menganggap dirinya sedang transaksi jual-beli. Uang yang ia keluarkan harus sepadan dengan daging dan ganting yang ia terima.

Katakanlah satu orang qurbani menyetorkan sejumlah 3,5 juta rupiah, jumlah yang tidak sedikit. Sebagian orang bersusah payah untuk mengumpulkan jumlah tersebut. Sebagian yang lain tidak terlalu diberatkan dengan jumlah itu. Namun, sejumlah uang tersebut seharusnya ditujukan pada satu titik yang sama, yakni beribadah kepada Allah SWT.

Dalam praktik pengelolaan kurban, panitia menawarkan kepada qurbani ‘jatah’ daging dalam jumlah tertentu merujuk kepada kesepakatan bersama. Sejatinya itu hanyalah tawaran, bukan sebuah keharusan qurbani mendapatkan bagian, bisa saja qurbani memilih untuk tidak mengambil bagiannya dan lebih mengutamakan hak bagi kaum fakir dan miskin yang dalam kesehariannya sangat jarang menikmati daging. Lain hal dengan qurbani yang bisa dengan mudah membeli dan mendapatkan daging untuk dikonsumsi. Kendati demikian, secara sudut pandang syariat mengambil bagian dari hewan yang disembelih diperbolehkan, bahkan jika berkurban sapi tapi meminta daging kambing itu diperbolehkan secara aturan agama.

Allah SWT berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَٓائِرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۗ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَٓافَّۖ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

"Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta itu sebagian dari syiar agama Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah diikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah (sebagian yang lain) untuk orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan untuk orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan hewan-hewan itu untukmu supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Hajj [22]: 36)

Namun, jelas kekeliruan yang sangat besar. Qurban sejatinya adalah ibadah yang ditujukan hanya untuk mengharap rida dari Allah SWT. Keuntungan di luar itu bukanlah tujuan utama. Adapun jika menghibur kita, maka tidak perlu kita tolak.

3. Jangan bertengkar pasca qurban

Seorang Muslim dengan Muslim yang lain adalah bersaudara. Islam memerintahkan untuk saling menyayangi dan melindungi. Menzalimi, mengambil hak dengan paksa, atau menggunjing tetangga bagi sesama Muslim dilarang. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hujurat [49]: 10:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat [49]: 10)

Dalam praktik ibadah qurban, tidak jarang menyisakan permasalahan yang jika dilihat dari sudut pandang ayat tadi tentu sangatlah serius. Pertikaian, pertengkaran, dan menyisakan dendam selepas qurban kerap kali terlihat. Sebagian bahkan sumber masalahnya sepele, seperti rebutan dalam antrian antar qurbani. Masalah lain timbul antara qurbani dan panitia hingga rasa saling curiga sampai tidak lagi saling percaya.

Padahal, jika dikerumuni keikhlasan, amal jama’i semacam ini bisa membuahkan pahala yang sangat besar dan kebermanfaatan yang jauh lebih luas apabila dibarengi dengan kesadaran dan hati yang lapang. Keyakinan bahwa sebagai manusia tidak mungkin terlepas dari kekhilafan adalah cara utama untuk mempererat ukhuwah Islamiyah.

Kesalahan dan asas dasar bahwa setiap mu'min itu bersaudara.

Semangat persaudaraan dan semangat mengharap mardhotillah nampaknya betul-betul harus dipersiapkan dengan matang sebelum melaksanakan ibadah qurban. Bukan tanpa alasan, karena sejatinya ibadah (semua ibadah, tidak hanya qurban) harus betul-betul “berbuah manis” dengan cara memperhatikan niat dalam beribadah, tata cara, dan implikasi setelahnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab. Qumedia

Oleh: Muhammad Iqbal Fathurahman, M.Pd
Post a Comment
ADVERTISEMENT
Mau Pasang Iklan? Silahkan Klik Disini
ADVERTISEMENT
Mau Pasang Iklan? Silahkan Klik Disini
ADVERTISEMENT